M. Syukur Anggota DPD-RI, Penghapusan Ambang Batas Parlemen Sudah Tepat Untuk Menghormati Suara Rakyat

Tinta nusantara. Jakarta – Ketua kelompok DPD di MPR, M. Syukur mendukung Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen. Menurutnya, keputusan itu telah memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Syukur menambahkan sebagai pemegang kedaulatan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, rakyat yang mempunyai hak memilih dan dipilih perlu dilindungi suaranya dalam pemilu. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada satu pun suara yang disia-siakan atau hangus tidak terpakai begitu saja, hanya karena partai tersebut tidak memenuhi syarat ambang batas parlemen.

“Maka saya usulkan kalau perlu persentase ambang batas parlemen angkanya diminimalkan sedemikian rupa bahkan kalau bisa dinolkan agar suara rakyat tidak terbuang sia-sia sehingga akan semakin banyak suara mereka terwakili di DPR,” katanya dalam keterangannya, Selasa (5/3/2024).

Diketahui, sebelumnya MK telah mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen.

Dalam putusannya, MK menilai ketentuan ambang batas parlemen 4 persen yang diatur dalam pasal 414 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Lebih lanjut dikatakan Syukur, oleh karena itu, ambang batas parlemen 4 persen tersebut dianggap konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.

M. syukur Anggota DPD dari Provinsi Jambi Putra kelahiran desa sungai Manau kecamatan sungai Manau Kabupaten Merangin ini menambahkan sistem ketatanegaraan sudah pernah mengakomodasi soal desain pemilu tanpa ambang batas parlemen, seperti pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Dia menilai pada praktiknya cukup efektif untuk memproteksi suara rakyat karena dapat terwakili meskipun satu kursi di DPR. Selain itu, pada waktu itu pola penyederhanaan partai juga berjalan dengan sendirinya.

Syukur menyebut desain pemilu tanpa ambang batas parlemen atau menggunakan ambang batas parlemen dengan angka seminimal mungkin jauh lebih demokratis dan berdaulat, ketimbangkan jika menerapakan ambang batas parlemen dengan angka yang besar namun membuat suara rakyat banyak yang hangus. Bahkan membuat calon anggota legislatif yang mendapatkan jumlah suara terbanyak tidak lolos hanya gara-gara partainya tidak cukup syarat ambang batas parlemen tersebut.

“Ini kan tidak adil dan sama saja mengamputasi pilihan rakyat yang notabene sebagai pemegang kedaulatan,” ujar Syukur.

Syukur mengatakan putusan MK yang menganulir ambang batas parlemen 4 persen bisa menjadi momentum untuk melakukan rejudicial review (JR) Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

“Kita ingin kedaulatan rakyat dijalankan dengan sepenuh hati bukan setengah hati, kalau norma ambang batas parlemen 4 persen bisa dianulir, seharusnya PT 20 persen juga bisa dianulir. Meskipun dua norma tersebut pengaturannya menjadi wewenang pembuat uu atau open legal policy, namun jika keduanya sama-sama mengeliminasi kedaulatan rakyat seharusnya PT juga bisa dihapus,” jelasnya.

Syukur juga menjelaskan selama ini DPD konsen pada pengkajian soal penghapusan PT 20 persen. Alasannya lantaran ambang batas ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, serta menghapus hak kebebasan individu untuk dipilih.

Karenanya, pada tahun 2022 DPD mengajukan JR ke MK. Namun sayangnya JR ditolak dengan alasan tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Padahal, kata dia, kala itu, MK belum pernah menguji isi materi JR yang disampaikan DPD tersebut.

Menurut Syukur, DPD secara kelembagaan sampai sekarang masih konsisten mendukung penghapusan PT 20 persen meskipun berulang kali telah digugat di MK oleh berbagai kelompok masyarakat dan selama itu pula belum berhasil menghapus PT 20 Persen. Meski begitu putusan majelis hakim MK tidak pernah bulat karena ada dua hakim MK yang melakukan dissenting opinion, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra.

“Ini menunjukan bahwa masih ada hakim di internal MK yang berpendapat bahwa PT 20 persen bermasalah,” tutupnya.(red)

Baca Juga

BERITA TERBARU

Trend Minggu ini