Opini Musri Nauli
Tintanusantara. Tidak dapat dipungkiri, suasana menjelang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2024 (Pilgub Jami 2024) memantik polemik dan menarik perhatian publik Jambi.
Suasana “pemanasan” Sebelum didaftarkan dan kemudian ditetapkan menjadi Calon Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2024, sudah menjadi linimasa berbagai pemberitaan di media massa. Termasuk juga hiruk pikuk di dunia media sosial.
Sebenarnya “hiruk pikuk” sekaligus menarik perhatian publik semata-mata didasarkan “cara pandang” di dalam melihat peristiwa. Entah dengan suasana yang gegap gempita maupun cara menangkisnya yang seringkali justru harus disikapi dengan dingin.
Ketika pemberitaan mengenai “jalan rusak” yang kemudian “diamplifier” dengan sikap yang “kurang tepat” tidak salah kemudian justru ditangkap dengan “baper”. Bawa perasaan. Kosakata sehari-hari yang sering digunakan untuk menjawab persoalan dengan “rasa diri” yang berbeda.
Kosakata “baper” kemudian menggelinding dan kemudian dikemas “Politik Baper”. Sebuah kosakata yang akan terus menggelinding dan menjadi pembicaraan yang menarik untuk ditelusuri.
Sejak seseorang kemudian memilih hidupnya untuk “bertarung” politik, maka sejak itu pula publik berhak untuk melihat bagaimana kiprah yang telah dilakukannya. Biasa dikenal sebagai “rekam jejak”.
Sebuah hak publik untuk melihat kiprah yang telah dilakukannya untuk melihat bagaimana gagasan yang akan dihasilkan/disampaikan.
Tentu saja seseorang boleh saja mengklaim “memihak tertentu”. Namun rekam jejak menjadi hak publik pula untuk melihat apa saja yang telah dilakukan.
Teringat dengan pepatah Tiongkok, Malulah berbicara apabila tidak lebih yang telah dilakukan. Sebuah pepatah yang mengingatkan agar ketika berbicara tetap melihat yang telah dilakukan.
Pepatah kehidupan ini sering menjadi renungan terhadap siapapun yang berteriak “melakukan A’ atau “berpihak kepada rakyat” namun justru yang dilakukan bertentangan dengan yang diteriakkan.
Seloko Jambi juga sering mengingatkan “Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait.. Atau diartikan “janganlah lain di kata lain di hati”.
Namun selain menggambarkan sikap dari “politik baper” yang justru mengecewakan adalah, jawaban yang menyampaikan peristiwa dan fakta yang sebenarnya di lapangan justru ditangkis dengan “Politik panik”.
Sebuah tangkisan yang justru menjauhkan dari tema yang ditawarkan.
Di dalam ilmu logika, cara ini justru sering disebutkan “ad hominem”. Sebuah “sesat pikir (mistake/logical fallacy).
Cara pikir yang menggambarkan “sesat pikir (mistake/logical fallacy) adalah sesat pikir yang sama sekali tidak menjawab tema yang ditawarkan namun justru menyerang pribadi, ketimbang ide, konsep, atau argumen dari pribadi.
Sebuah sesat pikir yang paling ditabukan di dalam ilmu logika.
Selain itu juga ketika tema yang ditawarkan kemudian dijawab dengan “politik panik”, adalah lompatan berpikir yang jauh dari tema yang ditawarkan. Biasa juga dikenal (logical jumping).
Sebuah padanan yang selain menggambarkan “sesat pikir (mistake/logical fallacy)” juga tidak equal antara satu tema dengan jawaban tema yang disodorkan.
Bukanlah seharusnya ketika adanya peristiwa di lapangan, seseorang pemimpin menjawab dengan baik. Apakah yang telah dilakukan, apa hambatan termasuk juga harapan yang mudah ditangkap publik. Sehingga publik mendapatkan “jawaban cerdas” dari peristiwa di lapangan.
Lagi-lagi publik berhak mendapatkan informasi yang utuh terhadap kiprah seorang pemimpin.
Dengan mengembalikan tema pokok yang disodorkan publik dan kemudian dijawab terhadap kiprah seorang pemimpin sekaligus upaya yang telah dilakukan, maka publk kemudian mendapatkan gambaran utuh terhadap peristiwa di lapangan secara komprehensif.
Dengan demikian, maka tercipta iklim politik yang Sehat. Sekaligus mendidik publik berdewasa berpolitik. Sehingga tercipta demokrasi yang sehat.(***)
Musri Nauli, advokat Jambi yang juga Direktur Media Haris-Sani
*Sumber Pariwarajambi