Berani Menyikap Tabir

Menatap Jambi Mantap 2024 Dibawah Tongkat Komando Doktor H. Al Haris, S.Sos., MH

TINTANUSANTARA.CO.ID – Refleksi harlah Provinsi Jambi ke 65

Oleh Ustad Doktor H. Hermanto Harun, Lc., MHI., Ph.D. Ilmuan Muslim Pakar Ilmu Syari’ah Kelahiran Batu Penyabung Sarolangun Jambi.

Tulisan ini terbit di Media Online Tintanusantara.co.id telah dapat izin dan persetujuan dari Doktor H. Hermanto Harun, Lc, Ph. D. MHI. Jika dianalogikan dengan perjalanan kehidupan manusia, maka hitungan 65 tahun adalah usia yang cukup matang dalam mengarungi perjalanan kehidupan. Usia 65 tahun adalah puncak purna bakti, dimana menurut Shigeaki Hinohara, peletak dasar kedokteran di Jepang, diusia itu merupakan saat yang tepat untuk pensiun dari tugas rutin yang acap kali sangat melelahkan.

Namun, bagi perjalanan sebuah peradaban, umur 65 tahun belum bisa dijadikan cerminan untuk dijadikan tolak ukur dari capaian kemajuan yang diidamkan. Usia 65 tahun Provinsi Jambi secara teritorial dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indoensia, agaknya baru melewati ‘muqaddimah’ dari catatan sejarah panjang yang lembaran demi lembarannya masih dalam penulisan yang entah sampai kapan tiba pada halaman khatamnya.

Akan tetapi, negeri dengan sebutan Chan-Pi dalam catatan aksara Cina itu, adalah sebuah entitas sosial politik yang bahkan pernah berdinamika dalam percaturan  dunia global. Melayu Jambi bahkan diasumsikan sebagai pangkal peradaban melayu dunia. Karena para ahli sejarah sepakat, bahwa negeri Melayu itu berada di hulu sungai Batang Hari yang sampai hari ini berada dan menjadi ikon Provinsi Jambi.

Dari titik tolak entitas Jambi dalam peta peradaban tersebut, sangat laik untuk sejenak berkontemplasi, paling tidak untuk sedikit membuka lembaran sejarah, bahwa negeri Melayu yang bernama Jambi ini pernah menjadi bagian penting dari sentra peradaban manusia di jagad raya, khususnya Nusantara.

Tapi bagaimana dengan kondisi saat ini? Yang teranyar dalam capaian keberhasilan adalah tingkat kebahagiaan masyarakat Jambi. Sesuai hasil survey yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS-RI) 2021, Jambi termasuk daerah indeks kebahagiaan tertinggi di Sumatera dan menempati peringkat empat di level Nasional. Indeks capain dengan indikator ekonomi, kenyamanan dan infrastruktur tersebut tentu sangat prestisius, mangingat masa sebelumnya masih belum terbilang dipanggung gelangang.

Selanjutnya, dari capain prestise personal sebagai kepala daerah, Gubernur Jambi yang akrab disapa ‘Wo Haris’ itu, dinobatkan sebagai People of the Year 2021, sebuah penghargaan sebagai gubernur terbaik se-Indonesia dalam perhatiannya terhadap pencegahan penularan wabah Covid 19. Ajakan untuk menjaga diri dari ancaman wabah Covid 19 dengan ucapan “mati banyak kito” nampaknya cukup menyihir ruang kesadaran banyak puak masyarakat. Himbawan dengan rasa dan intonasi bahasa ‘dusun’ tersebut terasa sangat persuasive, merakyat serta menyentuh ranah psikologis yang melahirkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan.

Indeks kebahagiaan serta penghargaan sebagai people of the year 2021 bagi masyarakat Jambi jelas menjadi prestise yang laik diapresiasi. Namun, persoalan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan serta keagamaan tidak sertamerta menjadi nihil. Segudang probematika keummatan dan kerakyatan sedang menunggu sentuhan elok dari kebijakan Wo Haris dalam masa periode kepemimpinannya. Akankah catatan indeks kebahagiaan serta sederet penghargaan itu hanya semata ukiran di atas selembar kertas? Perjalanan waktu dalam program serta kebijakan Wo Haris kedepan akan menjadi variable penguji kebenaran penghargaan tadi.

Akan tetapi, dalam beberapa bulan setelah pelantikan sebagai Gubernur Jambi 2021-2024, gebrakan ligat Wo Haris agaknya melahirkan riak optimisme lebih menguat. Sentuhan dengan gestur dan bahasa “dusun”nya, sedikit menepis kecemasan bahwa Jambi hanya ada dalam bilangan, namun tidak menambah jumlah hitungan. Optimisme itu setidaknya dimulai dari dimanika pilgub yang sedikit menegangkan dengan saling klaim kemenangan itu, menjadi cair dan mengalir dengan penuh kesantunan. Tentunya, itu menjadi legasi politik seorang Wo Haris yang laik untuk diacung jempol dalam memadamkan panasnya situasi pilgub yang rentan menimbulkan amukan masa.

Catatan prestasi dalam perjalanan kepemimpinan Wo Haris diusia jabatan gubernur yang baru seumur jagung ini, kiranya boleh diarsipkan dalam sejarah harlah Perovinsi Jambi yang ke 65 ini. Sederet catatan prestasi tadi, setidaknya membuang mitos watak ketertawanan identitas, yang memosisikan Jambi hanya sebatas negeri pantun. Jawaban “dakdo lah” atau “nak cari angin” atas pertanyaan mau kemana, tidak lagi disalahtafsirkan maknanya menjadi cermin dari sikap kemalasan, seperti tuduhan penjajah Barat kepada etnik Melayu, sebagaimana yang ditulis oleh Sayed Husein al-Attas dalam bukunya Mitos Pribumi Malas. Sebaliknya, jawaban “dakdo lah” atau “cari angin” itu menyimpan falsafah kerendahan hati dan tidak bangga diri.

Diakhir tulisan sang Doktor berharap Semoga harlah ke 65 Provinsi Jambi, semakin mantap melangkah menjemput kegemilangan, membawa pencerahan dan penuh keberkahan. Amin.,” tulis Ketua Jaringan Alumni Timur Tengah Jambi & Dosen Pascasarjana UIN Sutha Jambi**