Gorontalo –Tintanusantara,co,id. Dugaan penyimpangan serius kembali mencoreng wajah lembaga legislatif daerah. Sebanyak 18 anggota DPRD Provinsi Gorontalo periode 2019–2024 diduga mengalihkan anggaran pokok pikiran (Pokir) menjadi kegiatan perjalanan dinas menjelang berakhirnya masa jabatan mereka.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat.
Ketua ProJurnalisSiber (PJS) Gorontalo, Jhojo Rumampuk, menilai praktik tersebut bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi.
“Pokir itu hasil dari suara rakyat. Kalau disulap jadi perjalanan dinas, artinya dewan mempermainkan amanah rakyat demi kepentingan pribadi,” tegasnya, Rabu (29/10/2025).
Pokir sejatinya digunakan untuk menyalurkan kebutuhan masyarakat hasil reses, seperti program pemberdayaan, bantuan sosial, dan pembangunan fasilitas publik. Namun, aroma tak sedap muncul ketika nomenklatur Pokir diduga diubah agar tampak legal secara administratif—padahal isinya hanya untuk pembiayaan perjalanan dinas dan laporan pertanggungjawaban fiktif.
Padahal, Surat Edaran KPK Nomor 7 Tahun 2020 telah memperingatkan agar anggaran Pokir tidak disalahgunakan untuk kepentingan kelompok maupun individu anggota dewan. Jika dugaan ini terbukti, maka tindakan tersebut memenuhi unsur penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ini bukan lagi sekadar administrasi yang salah ketik. Ini bisa jadi modus korupsi terencana, karena ada proses pengalihan dan manipulasi nomenklatur anggaran,” tambah Jhojo.
Ia pun mendesak Kejaksaan Tinggi Gorontalo dan APIP untuk segera membuka penyelidikan dan melakukan audit menyeluruh terhadap pergeseran APBD, agar publik mengetahui siapa saja yang terlibat dalam dugaan praktik busuk ini.
“Kalau benar uang aspirasi rakyat digunakan untuk pelesiran, maka publik berhak tahu siapa dalangnya. Jangan ada lagi kompromi atas nama jabatan,” tegas Jhojo.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi lembaga legislatif daerah. Sebab, ketika aspirasi masyarakat diubah menjadi tiket perjalanan, maka yang dikorbankan bukan hanya uang rakyat—tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi wakil rakyat itu sendiri.(Rey)

