Polri dan Strategi “Community Policing” dalam Mengamankan Program Makan Bergizi Gratis

0

Jakarta, Tintanusantara.Co.Id – Wartawan senior Bambang Harimurti (BHM) menyoroti peran strategis Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengawal pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto.

Menurut BHM, keterlibatan Polri bukan sekadar soal distribusi makanan, melainkan untuk mengantisipasi risiko kesehatan yang bisa menjadi bumerang bagi program ambisius ini.

Dalam pemaparannya, BHM mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi kegagalan eksekusi program yang dinilainya baik.

“Mimpi buruk saya adalah kalau program yang baik ini, gara-gara dalam eksekusi ada masalah, malah berbalik menjadi bumerang,” ujar BHM, Rabu 12 November 2025, dalam diskusinya di program INANEWS.

Ia mencontohkan kasus di India, negara yang menjadi inspirasi program ini, di mana satu sekolah pernah mengalami tragedi 22 anak meninggal akibat keracunan makanan. “Ada waktu yang nyuci alat masak, ada zat kimia. Wah, skandal besar,” kenang BHM.

BHM juga mengingatkan soal karakteristik fisiologis masyarakat Indonesia. “Mayoritas orang Indonesia itu alergi susu. Jadi kalau tahu-tahu dipaksain minum susu, diare dia,” tegasnya.

Pengalaman pribadi BHM memperkuat peringatan ini. Ketika ia membantu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di rumahnya dan memberikan susu, banyak anak yang mengalami diare. “Akhirnya kita ganti kacang hijau,” katanya.

Masalah serupa juga terjadi dengan alergi kacang yang bisa berakibat fatal. “Sekarang misalnya alergi kacang itu, anak-anak bisa mati kalau makan kacang,” peringatannya.

BHM menilai keterlibatan Polri dalam program MBG saat ini masih bersifat transisi.

“Polisi ini sekarang transisi. Karena ini hal yang baru, kalau dilaksanakan tidak dengan benar bisa mengakibatkan masalah keamanan, makanya intel harus masuk,” jelasnya.

Kendati begitu, BHM menyinggung keunggulan Polri dalam mengelola SPPG yang menurutnya, terletak pada kemampuan menyusun Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat.

“Polri termasuk Indonesia yang jagoan dalam soal standar operasional, apalagi SPPG POLRI itu kemarin mendapat apresiasi Presiden Prabowo yang pengelolaannya paling baik,” katanya.

Ia mengusulkan beberapa protokol penting dalam hal pelaksanaan program MBG ini diantaranya ; Sekolah harus mencatat siswa yang memiliki alergi makanan tertentu. Sebelum pemberian makanan, harus dikonfirmasi dulu potensi alergi. Guru-guru harus dilatih mengenali gejala dan respons cepat jika ada masalah kesehatan. Prosedur cuci tangan dan penanganan darurat harus diajarkan dengan jelas.

“Jika perlu tambahan suplemen makanan untuk anak-anak seperti vitamin yang fungsinya untuk menekan angka stunting,” ujar Bambang mantan Pemred Tempo.

Data terbaru menunjukkan program ini telah menjangkau 29,6 juta penerima manfaat, dengan 9.406 dapur SPPG beroperasi di 514 kabupaten/kota. Yang lebih mengesankan, model SPPG yang dikelola POLRI berhasil mencatat tingkat keamanan pangan 99,1% dengan waktu distribusi rata-rata hanya 2,3 jam.

BHM membandingkan keterlibatan Polri dengan konsep “community policing” (kepolisian warga) yang ia pelajari di Jepang.

Disana, polisi tidak hanya menjaga keamanan tetapi juga terlibat dalam kehidupan masyarakat, termasuk membantu anak-anak mengerjakan PR.

Menurutnya di Jepang, keamanan itu bukan hanya tugas Polisi, tapi juga peran serta aktif masyarakat membantu menciptakan keamanan untuk seluruh masyarakat.

“Jadi sama halnya dengan Program MBG yang ditujukan untuk keperluan masyarakat ini. Masyarakat harus bisa berkontribusi untuk mewujudkan program MBG yang aman dan bermanfaat,” katanya.

BHM menekankan pentingnya pengelolaan narasi publik untuk program MBG yang menyentuh 80 juta anak dan lebih dari 100 juta orang tua.

“Dari sisi narasi, kan bahaya 100 juta orang ini kalau tidak dimanage soal isu MBG yang berkembang, tugas Polisi itu menjadi katup pengaman agar tidak meledak akibat dari isu negatif yang muncul, pertama SPPG POLRI ini menjadi contoh bagi SPPG lainnya, kemudian menjadi pembimbing setelahnya posisi POLRI bisa menjadi pengawas,” katanya.

Ia menggunakan analogi film India yang durasinya 3 jam. “Mungkin 2 jam 45 menit jagoan kalah terus, tapi 15 menit terakhir menang. Dan ketika orang selesai nonton, yang diingat ya 15 menit terakhir,” jelasnya.

Strategi komunikasi yang diusulkan BHM adalah jujur mengakui masalah yang terjadi, lalu menunjukkan solusi dan pembelajaran dari setiap insiden.

“Kalau ada anak keracunan atau masuk rumah sakit, kita beritakan. Tapi ketika anak itu sudah sembuh dan pulih, kita angkat lagi ceritanya, dan jadikan momen edukasi,” ujarnya.

BHM menegaskan bahwa MBG bukan sekadar program pemberian makan, melainkan investasi kesehatan jangka panjang.

Ia mengutip data World Food Organization (lembaga PBB) yang menyebutkan bahwa investasi 1 USD dalam program makan bergizi menghasilkan return 9 USD bagi generasi penerima manfaat MBG ini di tahun 2045 nanti.

“Kalau kita investasi ke orang sampai dapat sarjana, baru produktif berapa tahun, kena serangan jantung, biaya BPJS serangan jantung bisa ratusan juta. Negara rugi,” paparnya, menyoroti masalah obesitas dan penyakit degeneratif yang kini menyerang usia produktif.

Harymurti mengungkapkan, SPPG POLRI berhasil mencapai efisiensi 15-20% lebih tinggi dibandingkan model konvensional.

“Biaya per porsi hanya Rp 12.500, sementara model Kemenkes Rp 15.200. Dalam skala miliar porsi, ini penghematan yang sangat signifikan,” paparnya.

Perbedaan ini terjadi karena sistem berlapis yang dilakukan Satuan Pelaksana (SPPG) lain, di mana banyak “kuarteg” (perantara) mengambil keuntungan sebelum makanan sampai ke anak-anak.

BHM berharap pengalaman Polri dalam mengawal MBG dapat menjadi pembelajaran bagi SPPG lainnya, sehingga program yang digadang-gadang dapat mengubah masa depan generasi Indonesia ini benar-benar terlaksana dengan baik dan aman.(hendriyawan)