TINTANUSANTARA.CO.ID Jakarta, 24 Juli 2025 — Tujuh tahun telah berlalu sejak Herdi alias Acuan (45) tewas ditembak di depan rumahnya, di kawasan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun hingga hari ini, kasus ini masih menyisakan kabut tebal. Bukan hanya soal siapa dalang utama di balik pembunuhan tersebut, tetapi juga bagaimana proses hukum justru memunculkan lebih banyak tanya daripada jawab.
Bisnis Solar yang Berujung Maut
Informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa latar belakang peristiwa berdarah ini diduga kuat berakar dari persaingan bisnis solar. Herdi diketahui menjalankan bisnis tersebut bersama rekan usahanya, AX alias Handoko. Hubungan keduanya diduga memburuk, hingga muncul rencana menghabisi nyawa Herdi.
Pada Agustus 2018, AKBP Ade Ary—saat itu menjabat sebagai Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya—mengungkap bahwa Handoko menyusun rencana pembunuhan selama dua bulan. Ia bahkan menjanjikan bayaran sebesar Rp400 juta kepada para pelaku, meski saat eksekusi dijalankan, baru Rp30 juta yang diberikan.
Skema pembunuhan berjalan sistematis. Pelaku dibagi ke dalam beberapa peran: eksekutor, pengemudi mobil dan motor, hingga pelacak gerak-gerik korban. Herdi ditembak mati secara brutal, tepat di dekat rumahnya.
Sosok Jonson: Nama yang Tak Pernah Muncul di Persidangan
Di tengah proses hukum, publik mulai mempertanyakan satu nama yang sejak awal disebut terlibat: Jonson. Menurut beberapa saksi dan informasi yang didapat tim media, Jonson disebut berada dalam mobil saat eksekusi berlangsung.
Namun yang mengejutkan, nama Jonson tak pernah sekali pun disebut di persidangan. Ia tidak pernah dihadirkan sebagai saksi, apalagi sebagai terdakwa. Salah satu saksi kunci yang meminta identitasnya dirahasiakan menyebut bahwa Jonson sempat ditahan beberapa bulan, kemudian “dibebaskan begitu saja” tanpa proses hukum yang transparan.
“Waktu itu dia sempat ditahan, tapi habis itu keluar. Saat persidangan berlangsung, namanya bahkan tak disebut satu kali pun,” ujar sumber.
Ketiadaan Jonson dalam berkas perkara hingga pembacaan vonis menjadi kejanggalan besar. Padahal, dalam kasus pembunuhan berencana, biasanya semua pihak dari aktor lapangan hingga pemberi informasi turut diproses hukum. Fakta bahwa CCTV tidak menangkap wajah Jonson bukan alasan cukup, mengingat penyidikan digital dan keterangan saksi bisa digunakan sebagai bukti tambahan.
Sidang Penuh Kekecewaan
Persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun jauh dari harapan. Penundaan sidang kerap terjadi tanpa alasan yang jelas. Nama Jonson tidak pernah muncul dalam dokumen dakwaan maupun di ruang sidang.
Majelis hakim yang diketuai Dodong Iman Rusdani, dengan anggota Sutejo Bomantoro dan Chris Fajar Sosiawan, sempat menjadwalkan sidang pada 15 Januari 2019. Namun kembali, publik dan keluarga korban kecewa: saksi kunci absen, Jonson tidak disebut, dan proses seolah jalan di tempat.
Jaksa Penuntut Umum, Nugraha, hanya menghadirkan dua terdakwa utama: Handoko dan Sunandar. Keduanya didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ancamannya hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Beberapa Tersangka Lepas dari Jerat Hukum
Penangkapan lain dilakukan terhadap AS, J, PWT, dan SM oleh tim gabungan Polres Metro Jakarta Utara dan Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Tapi dua di antaranya dibebaskan karena CCTV dianggap tidak cukup kuat sebagai bukti.
Padahal, menurut informasi lapangan dan sejumlah saksi, keempatnya disebut memiliki peran aktif dalam eksekusi.
Namun dari semua kejanggalan, sosok Jonson tetap menjadi misteri paling mencolok. Dalam banyak kasus pembunuhan berencana, semua pelaku, termasuk perencana, eksekutor, dan informan, biasanya dijerat pidana. Tapi dalam kasus ini, Jonson seperti ‘menghilang’ dari radar hukum.
Publik Bertanya, Hukum Harus Menjawab
Sampai berita ini diturunkan, pihak Polda Metro Jaya belum memberikan klarifikasi terkait status hukum Jonson. Tidak ada keterangan resmi mengapa ia tak pernah dihadirkan sebagai saksi atau terdakwa.
Keluarga korban terus mencari keadilan. Mereka berharap institusi penegak hukum tidak menutup mata atas kejanggalan yang terjadi. Karena bagi mereka, ini bukan hanya soal siapa menembak siapa—melainkan tentang bagaimana hukum bisa ‘terkalahkan’ ketika nama-nama tertentu dianggap kebal.
(*/Red)